
NEWMEDAN.COM MEDAN – Aksi premanisme berkedok organisasi kemasyarakatan (ormas) kian meresahkan warga Kota Medan. Kali ini, aksi tersebut menimpa seorang warga berinisial A, yang menjadi korban intimidasi sekelompok pria yang diduga bagian dari kelompok preman di Jalan Perjuangan, Setiabudi, Kecamatan Medan Sunggal. Kejadian ini menjadi bukti bahwa premanisme di kota besar masih menjadi ancaman nyata bagi masyarakat sipil.
Peristiwa itu terjadi ketika A sedang melintas di kawasan tersebut dan tiba-tiba didatangi oleh sekitar 13 orang pria. Mereka mengaku sebagai bagian dari sebuah ormas namun bersikap kasar, memaki, dan mengancam A tanpa alasan yang jelas. A mengaku tidak memiliki persoalan sebelumnya dengan kelompok tersebut, namun tiba-tiba dijadikan sasaran intimidasi.
Merasa terancam dan mengalami tekanan psikis, A kemudian memutuskan untuk melaporkan kejadian ini ke Mapolsek Medan Sunggal yang terletak di Jalan TB Simatupang. Dengan harapan mendapatkan perlindungan hukum, A mendatangi kantor polisi pada Sabtu, 17 Mei 2025, untuk membuat laporan pengaduan.
Namun, harapan A pupus ketika laporan yang diajukan ditolak mentah-mentah oleh petugas yang bertugas saat itu, yakni penyidik Aipda Syarifuddin Parinduri. Menurut keterangan A, penyidik tersebut menyatakan bahwa kasus intimidasi yang dialaminya tidak memiliki cukup unsur pidana untuk diproses secara hukum.
“Saya sangat kecewa dengan sikap arogan Bapak Polisi di Polsek Medan Sunggal. Sudah jelas-jelas saya diintimidasi oleh 13 orang preman, malah laporan tidak diterima,” ujar A dengan nada kesal kepada media. Ia menambahkan bahwa dirinya merasa tidak dilindungi oleh aparat, padahal sebagai warga negara, ia memiliki hak untuk mendapatkan rasa aman.
Penolakan laporan ini menimbulkan pertanyaan besar di tengah masyarakat, terutama menyangkut komitmen aparat kepolisian dalam memberantas premanisme yang berkedok ormas. Banyak warga sekitar yang juga merasa resah, karena tidak sedikit dari mereka yang pernah menjadi korban tindakan serupa, namun enggan melapor karena khawatir laporan akan diabaikan.
Kejadian ini menuai kecaman dari sejumlah aktivis dan pemerhati hukum di Medan. Mereka menilai bahwa penolakan laporan tanpa penyelidikan lebih lanjut merupakan bentuk kelalaian aparat dalam menjalankan tugasnya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. “Intimidasi oleh kelompok bersenjata atau berkelompok, apalagi dalam jumlah banyak, sudah masuk ke dalam tindakan pidana. Harusnya minimal dilakukan pemeriksaan awal,” ujar salah satu pengamat hukum dari Universitas Sumatera Utara.
Pihak keluarga korban juga turut menyuarakan kekecewaannya. Mereka menilai tindakan polisi justru memperparah trauma yang dialami A. Menurut mereka, alih-alih diberi perlindungan, A malah merasa diabaikan oleh institusi yang seharusnya menjadi tumpuan terakhir dalam mencari keadilan.
Tidak hanya itu, warga setempat mulai menyuarakan kekhawatiran bahwa penolakan seperti ini bisa memicu keberanian kelompok preman untuk semakin berani melakukan intimidasi. “Kalau polisi tidak mau tangani, preman bisa makin berani. Kami ini warga biasa, siapa yang akan melindungi kalau bukan polisi?” kata seorang warga yang minta namanya dirahasiakan.
Sampai saat ini, belum ada pernyataan resmi dari Kapolsek Medan Sunggal terkait alasan penolakan laporan tersebut. Pihak media yang mencoba menghubungi pihak Polsek juga belum mendapatkan tanggapan yang memadai.
Pemerhati sosial menilai bahwa tindakan seperti ini harus segera mendapatkan perhatian dari pimpinan Polri. Mereka mengimbau agar dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap prosedur penanganan laporan masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan intimidasi dan kekerasan dari kelompok tertentu.
Kasus ini juga menjadi peringatan bahwa masih ada tantangan besar dalam memberantas premanisme yang kerap bersembunyi di balik nama ormas. Tanpa ketegasan dari aparat, kelompok-kelompok ini dapat dengan mudah meresahkan masyarakat dan menebar ketakutan.
Masyarakat pun berharap agar Kapolda Sumatera Utara dan pihak-pihak terkait segera turun tangan dalam menyelidiki insiden ini. Selain menegakkan keadilan untuk korban, langkah tersebut penting untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.
Dengan meningkatnya tekanan dari masyarakat dan media, diharapkan pihak kepolisian segera membuka kembali laporan tersebut dan melakukan penyelidikan lebih lanjut. A sendiri berharap agar kejadian ini menjadi yang terakhir, dan tidak ada lagi warga Medan yang merasa terintimidasi tanpa mendapatkan perlindungan hukum yang semestinya.