
NEWMEDAN.COM – Isu mengenai besaran tunjangan anggota DPRD Sumatera Utara (Sumut) kembali menuai kontroversi. Salah satu komponen yang disorot adalah tunjangan perumahan yang nilainya mencapai puluhan juta rupiah per bulan. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Sumut Nomor 7 Tahun 2021, yang kini dinilai perlu ditinjau ulang.
Gelombang kritik datang dari masyarakat sipil hingga kelompok mahasiswa. Mereka menilai pemberian fasilitas yang terlalu besar bagi wakil rakyat tidak sejalan dengan kondisi perekonomian Sumut saat ini, di mana masih banyak masyarakat berjuang memenuhi kebutuhan dasar.
“Ini sangat kontras. Di satu sisi pemerintah bicara pengendalian inflasi dan penekanan angka kemiskinan, tapi di sisi lain ada tunjangan fantastis untuk pejabat legislatif,” ujar seorang pengamat kebijakan publik di Medan.
Polemik ini semakin tajam setelah isu tersebut memicu aksi unjuk rasa di sejumlah kota besar di Sumut. Para demonstran menuntut agar Pergub segera direvisi dan besaran tunjangan dikaji ulang sesuai prinsip keadilan dan kewajaran.
Menanggapi dinamika itu, Gubernur Sumut Muhammad Bobby Afif Nasution menyatakan terbuka terhadap evaluasi regulasi. Namun, ia mengingatkan bahwa perubahan tidak bisa dilakukan secara sepihak oleh eksekutif tanpa melibatkan pihak legislatif.
“Kalau Pergub ini kami ubah begitu saja, tentu akan menimbulkan gesekan dengan DPRD. Jadi harus ada kesepahaman bersama,” kata Bobby dalam keterangannya di Medan.
Bobby menegaskan bahwa ia tidak menutup mata terhadap keresahan publik. Menurutnya, pemerintah daerah wajib menjaga keseimbangan antara kepentingan rakyat dengan kebutuhan kerja wakil rakyat.
Sementara itu, kalangan aktivis menilai bahwa evaluasi tidak cukup hanya sebatas wacana. Mereka mendesak adanya transparansi dalam perhitungan tunjangan, termasuk perbandingan dengan provinsi lain.
“Publik berhak tahu bagaimana standar penetapan angka tunjangan ini. Jangan sampai hanya karena status pejabat, lantas kebutuhan rakyat terabaikan,” kata salah satu koordinator aksi mahasiswa.
Di sisi lain, beberapa anggota DPRD membela kebijakan tersebut dengan alasan bahwa tunjangan merupakan bagian dari hak sesuai aturan. Mereka menegaskan, fasilitas itu bertujuan mendukung kinerja anggota dewan dalam menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran.
Namun, argumentasi ini tidak sepenuhnya diterima publik. Banyak pihak beranggapan bahwa efektivitas kerja wakil rakyat tidak semata-mata bergantung pada besaran fasilitas, melainkan pada komitmen dan integritas.
Kondisi ini membuat tekanan publik terhadap evaluasi Pergub kian menguat. Jika tidak segera ada langkah konkret, dikhawatirkan ketegangan antara masyarakat dan pemerintah daerah bisa terus berlanjut.