
Newmedan.com – Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Ditreskrimum Polda Sumut) resmi memproses laporan terkait dugaan tindak pidana pemerasan yang diduga melibatkan Ketua Komisi III DPRD Kota Medan berinisial SP. Kasus ini menyeret perhatian publik karena berkaitan dengan praktik dugaan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat legislatif terhadap pelaku usaha.
Informasi ini disampaikan langsung oleh Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Sumut, Kombes Pol Sumaryono, saat ditemui awak media pada Selasa, 29 April 2025 di Mapolda Sumut. Ia mengonfirmasi bahwa laporan polisi (LP) atas dugaan pemerasan telah diterima dan kini sedang dalam tahap awal penyelidikan.
“Pelapor sudah membuat laporan polisi dan saat ini masih dalam proses awal. Jika LP-nya sudah sepenuhnya diverifikasi dan masuk ke tahap lanjutan di Ditreskrimum, kami akan melakukan penyelidikan lebih lanjut,” ujar Sumaryono.
Namun demikian, saat ditanya lebih lanjut mengenai identitas pelapor yang menjadi korban pemerasan, Sumaryono enggan memberikan keterangan rinci. Ia hanya menyebut bahwa informasi lebih lanjut akan disampaikan setelah proses awal selesai. “Masih di SPKT (Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu) untuk ditindaklanjuti. Nanti akan kami sampaikan jika sudah masuk ke tahap selanjutnya,” tambahnya.
Kasus ini bermula dari laporan sejumlah pengusaha hiburan di Kota Medan yang mengeluhkan adanya dugaan pemerasan oleh SP bersama dua stafnya, berinisial AS dan SF. Ketiganya diduga meminta sejumlah uang dengan ancaman akan menyegel tempat usaha para pengusaha tersebut, yang mayoritas bergerak di sektor Gelanggang Olahraga (GOR) dan hiburan malam.
Menurut sumber terpercaya yang enggan disebutkan namanya, tindakan pemerasan dilakukan dengan dalih pengawasan terhadap izin usaha. Namun, ancaman penyegelan disebut dilakukan di luar prosedur resmi dan bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Dalam laporan yang diterima oleh pihak kepolisian, disebutkan bahwa beberapa pengusaha diminta menyerahkan uang dalam jumlah tertentu agar usaha mereka tidak ditutup. Uang tersebut disebut tidak masuk ke dalam kas daerah atau negara, melainkan diduga untuk kepentingan pribadi pihak-pihak yang terlibat.
Tindak lanjut dari laporan ini menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil dan pemerhati tata kelola pemerintahan. Banyak yang menyoroti bahwa kejadian seperti ini mencederai kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif yang seharusnya menjadi pengawas jalannya pemerintahan, bukan pelaku intimidasi terhadap pelaku usaha.
Ketua Dewan Etik DPRD Kota Medan dikabarkan telah menerima informasi awal mengenai dugaan keterlibatan SP. Ia menyatakan bahwa lembaganya akan menunggu hasil pemeriksaan resmi dari pihak kepolisian sebelum mengambil tindakan etik terhadap yang bersangkutan.
Sementara itu, beberapa organisasi pengusaha lokal mendesak agar kasus ini diusut tuntas dan tidak dibiarkan berlarut-larut. Mereka berharap Polda Sumut bertindak tegas terhadap siapa pun yang terbukti bersalah, tanpa memandang jabatan atau posisi di lembaga negara.
Pihak Polda Sumut menegaskan bahwa mereka akan bertindak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. “Kami tidak akan pandang bulu. Jika terbukti ada pelanggaran hukum, tentu akan kami proses secara profesional dan transparan,” tegas Kombes Pol Sumaryono.
Dalam beberapa waktu ke depan, penyidik dari Ditreskrimum akan melakukan klarifikasi dan pemeriksaan terhadap para pihak yang disebut dalam laporan. Termasuk kemungkinan pemanggilan saksi-saksi dari pihak pengusaha maupun internal DPRD.
Publik kini menanti bagaimana kelanjutan proses hukum terhadap SP dan stafnya. Kasus ini menjadi ujian bagi penegakan hukum di Sumatera Utara, terutama dalam memastikan bahwa hukum berlaku bagi semua, termasuk anggota legislatif.
Jika terbukti bersalah, para terduga dapat dijerat dengan pasal pemerasan sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan undang-undang lain yang relevan, serta kemungkinan sanksi etik dari lembaga legislatif tempat mereka bertugas.
Pemerintah daerah dan DPRD diharapkan menjadikan kasus ini sebagai pelajaran untuk memperkuat integritas dan pengawasan internal, agar praktik-praktik menyimpang tidak lagi terjadi di masa mendatang.