
NEWMEDAN.COM – Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia akhirnya memutuskan untuk mengembalikan putusan Pengadilan Negeri (PN) Binjai yang sebelumnya menjatuhkan vonis 16 bulan penjara kepada Samsul Tarigan dalam perkara penguasaan lahan milik PTPN seluas 80 hektare. Putusan ini membatalkan keputusan tingkat banding yang sempat meringankan hukuman terhadap terdakwa.
Kasus ini bermula ketika Samsul Tarigan dinyatakan bersalah atas tindak pidana menguasai lahan secara melawan hukum. Lahan tersebut merupakan aset negara yang dikelola oleh PTPN, dan tindakan Samsul dianggap telah merugikan negara sekaligus mencoreng tata kelola agraria.
Pada tingkat pertama, Pengadilan Negeri Binjai menjatuhkan hukuman 16 bulan penjara kepada Samsul. Vonis ini dianggap telah sesuai dengan fakta persidangan dan bukti-bukti yang diajukan. Namun, baik Samsul maupun pihak kejaksaan menyatakan tidak puas dan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Medan.
Pada proses banding, majelis hakim yang dipimpin oleh Djaniko MH Girsang dengan hakim anggota Syamsul Bahri dan Baslin Sinaga membuat keputusan yang mengejutkan. Mereka meringankan hukuman Samsul menjadi enam bulan penjara, bahkan dengan ketentuan tidak perlu dijalani secara fisik karena diberikan masa percobaan selama 10 bulan.
Putusan banding tersebut menuai kritik dari berbagai kalangan, termasuk akademisi dan praktisi hukum. Banyak pihak mempertanyakan dasar pertimbangan hakim dalam memberikan keringanan hukuman yang begitu drastis terhadap terdakwa kasus agraria yang berdampak luas bagi masyarakat dan negara.
Akibat dari putusan PT Medan yang dianggap kontroversial itu, Kejaksaan Agung mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam memori kasasi, jaksa menilai bahwa putusan banding tidak mencerminkan rasa keadilan dan bertentangan dengan semangat pemberantasan pelanggaran hukum terhadap aset negara.
Mahkamah Agung dalam putusannya menegaskan bahwa vonis awal dari PN Binjai sudah sesuai dengan prinsip keadilan dan telah mempertimbangkan secara menyeluruh bukti serta dampak dari perbuatan terdakwa. Oleh sebab itu, MA memutuskan untuk membatalkan putusan PT Medan dan mengembalikan hukuman penjara 16 bulan terhadap Samsul Tarigan.
Dalam pertimbangannya, MA menyebut bahwa tindakan Samsul Tarigan menguasai lahan negara tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga memberi preseden buruk bagi pengelolaan aset negara di sektor agraria. Selain itu, Mahkamah menilai tidak ada alasan yang cukup kuat untuk memberikan masa percobaan, apalagi dalam perkara yang menyangkut kepentingan publik.
Putusan MA ini dianggap sebagai langkah tegas dalam upaya menegakkan supremasi hukum, khususnya dalam kasus-kasus penguasaan lahan secara ilegal. Banyak kalangan berharap agar kasus ini menjadi peringatan keras bagi pihak-pihak lain yang mencoba memanfaatkan kelemahan pengawasan aset negara.
Pengamat hukum agraria dari Universitas Sumatera Utara, Dr. Yuliana Harahap, menyebut keputusan MA sebagai bentuk koreksi yang sangat penting. “Keadilan tidak boleh dikompromikan demi kepentingan pribadi atau kelompok. Kasus ini menunjukkan pentingnya peran MA dalam menjaga integritas hukum kita,” ujarnya.
Sementara itu, pihak Kejaksaan menyambut baik putusan kasasi tersebut. Dalam keterangan pers, juru bicara Kejagung menyatakan bahwa keputusan ini memperkuat komitmen institusi hukum untuk menindak tegas pelaku perampasan lahan yang selama ini kerap luput dari jerat hukum.
Di sisi lain, kuasa hukum Samsul Tarigan menyatakan kekecewaannya terhadap putusan MA dan mengklaim bahwa kliennya hanya menjadi korban konflik agraria yang lebih kompleks. Namun demikian, pihaknya menyatakan akan menghormati keputusan hukum tertinggi tersebut.
Kasus ini menjadi salah satu contoh penting bagaimana hukum dapat bekerja untuk melindungi kepentingan negara dan masyarakat luas. Penegakan hukum di bidang agraria dinilai harus dilakukan secara konsisten agar tidak terjadi ketimpangan dan pelanggaran yang merugikan negara.
Dengan dikembalikannya vonis 16 bulan penjara oleh Mahkamah Agung, Samsul Tarigan kini diwajibkan menjalani masa hukuman sesuai dengan keputusan awal. Proses eksekusi putusan tengah disiapkan oleh kejaksaan dan aparat terkait.
Kejadian ini diharapkan menjadi titik tolak pembenahan dalam sistem hukum, terutama dalam menangani kasus-kasus yang menyangkut penguasaan aset negara. Masyarakat pun diminta lebih proaktif dalam mengawasi dan melaporkan praktik-praktik serupa agar keadilan dapat ditegakkan secara merata.