
NEWMEDAN.COM – Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), secara terbuka menyampaikan kecurigaannya bahwa isu-isu yang belakangan ramai dibicarakan publik terkait dirinya dan keluarganya merupakan bagian dari agenda politik besar yang terstruktur. Isu mengenai ijazah palsu yang dituduhkan kepadanya serta wacana pemakzulan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, menurut Jokowi, tidak muncul begitu saja tanpa motif politik tertentu di baliknya.
Pernyataan tersebut disampaikan Jokowi kepada para wartawan saat ditemui di kediaman pribadinya di Sumber, Banjarsari, Solo, pada Senin, 14 Juni 2025. Dalam suasana yang santai namun penuh keprihatinan, Jokowi menuturkan bahwa dirinya mulai merasakan adanya manuver politik yang bertujuan menggiring opini publik pasca dirinya tidak lagi menjabat sebagai presiden.
“Kalau dilihat polanya, saya berperasaan memang kelihatannya ada agenda besar politik di balik isu-isu ini. Ijazah palsu, pemakzulan Gibran—isu-isu itu terus dibawa-bawa meski sudah tidak relevan,” ujar Jokowi kepada awak media.
Isu mengenai ijazah palsu milik Jokowi kembali mencuat ke permukaan tidak lama setelah ia resmi mengakhiri masa jabatannya pada Oktober 2024 lalu. Padahal, isu serupa sempat dibantah dan diklarifikasi berkali-kali selama ia masih menjabat sebagai kepala negara. Kali ini, eskalasi isu menjadi lebih besar, hingga mendorong Jokowi untuk mengambil langkah hukum.
Jokowi dilaporkan telah melaporkan lima orang ke pihak berwenang atas tuduhan menyebarkan informasi palsu mengenai keaslian ijazahnya. Ia menilai tuduhan tersebut tidak hanya menyerang kehormatan pribadinya, tetapi juga bertujuan untuk melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.
“Ini bukan hanya soal saya. Ini tentang merusak kredibilitas pemimpin negara dan menanamkan keraguan kepada masyarakat. Saya tidak akan diam,” tegasnya.
Selain isu ijazah, muncul pula wacana pemakzulan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Beberapa kelompok masyarakat dan tokoh politik mempertanyakan keabsahan pencalonan Gibran dalam Pilpres 2024 yang lalu, yang dianggap melibatkan perubahan mendadak atas aturan batas usia capres-cawapres oleh Mahkamah Konstitusi.
Jokowi enggan berkomentar terlalu jauh mengenai proses hukum atau politik yang sedang berlangsung terkait putranya. Namun, ia menekankan bahwa segala proses politik seharusnya dilakukan secara fair dan tidak mengarah pada pembunuhan karakter ataupun serangan terhadap kehormatan keluarga.
Menurut Jokowi, praktik politik yang sehat haruslah didasarkan pada gagasan, kebijakan, dan kompetensi, bukan dengan memanfaatkan isu pribadi atau menyebarkan fitnah. Ia mengajak seluruh elemen bangsa untuk kembali pada etika demokrasi yang beradab dan menjunjung tinggi fakta.
Jokowi juga menyampaikan bahwa dirinya siap jika harus menghadapi proses hukum yang adil terkait isu ijazah. Ia percaya bahwa kebenaran akan selalu menemukan jalannya dan masyarakat Indonesia semakin cerdas dalam menyikapi informasi.
Sementara itu, sejumlah tokoh masyarakat dan akademisi turut memberikan dukungan moral kepada Jokowi. Mereka menilai bahwa upaya mempersoalkan kembali ijazah Jokowi adalah pengulangan narasi lama yang tidak berdasar dan hanya dimaksudkan untuk kepentingan politik sesaat.
Tidak sedikit pula masyarakat yang menyuarakan kekhawatiran mereka terhadap meningkatnya polarisasi politik di Indonesia, yang kini bahkan menyeret isu-isu pribadi dan keluarga mantan presiden ke ruang publik.
Pakar hukum tata negara menilai bahwa upaya pemakzulan Gibran tidak akan mudah dan memerlukan dasar hukum yang sangat kuat. Tanpa pelanggaran serius terhadap UUD atau undang-undang lainnya, pemakzulan bukanlah langkah yang realistis dan bisa menimbulkan instabilitas politik nasional.
Jokowi, meski tidak lagi menjabat, tetap memiliki pengaruh besar di panggung politik nasional. Oleh karena itu, segala isu yang menyangkut dirinya dan keluarganya secara langsung berdampak terhadap dinamika politik di tanah air.
Mengakhiri pernyataannya, Jokowi mengajak semua pihak untuk menjaga persatuan bangsa. “Perbedaan pendapat itu wajar dalam demokrasi. Tapi jangan jadikan fitnah sebagai alat untuk mencapai kekuasaan. Indonesia terlalu besar untuk dipertaruhkan demi ambisi sesaat,” pungkasnya.