
Newmedan.com – Tuduhan pemerasan yang menyeret nama Kompol Ramli dan beberapa personel kepolisian lainnya terhadap sejumlah kepala sekolah di Sumatera Utara rupanya hanya menjadi bagian kecil dari cerita besar yang lebih kompleks. Informasi terbaru mengindikasikan adanya upaya sistematis untuk menutupi keterlibatan pihak lain dalam dugaan penyalahgunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) pendidikan senilai Rp176 miliar.
Pusat perhatian kini beralih pada sosok Abdul Haris Lubis, mantan Kepala Dinas Pendidikan Sumut yang kini menjabat sebagai Kepala Nonaktif di Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Sumut. Ia disebut-sebut menjadi fasilitator utama yang mempertemukan aparat kepolisian, pihak rekanan, serta para kepala sekolah dalam forum resmi yang diadakan di sebuah hotel berbintang di Medan.
Berdasarkan informasi dari narasumber yang identitasnya dirahasiakan, pertemuan antara pihak-pihak tersebut bukanlah kejadian spontan, melainkan pertemuan yang dirancang dan dikemas secara formal oleh Dinas Pendidikan Sumut. “Pertemuan itu terjadi di Hotel Kanaya Medan. Undangan disebar secara resmi oleh Disdik Sumut, dan di sana hadir juga aparat polisi serta pihak rekanan proyek,” ungkap sumber tersebut.
Pertemuan tersebut menjadi sorotan karena diduga menjadi pintu masuk praktik manipulatif yang memanfaatkan posisi kepala sekolah sebagai pengguna anggaran, khususnya anggaran DAK fisik yang ditransfer dari pemerintah pusat untuk pembangunan sarana dan prasarana pendidikan. Nilai anggaran yang besar memicu ketertarikan banyak pihak untuk turut “bermain”.
Kompol Ramli, bersama Brigadir Bayu serta dua pihak sipil yakni Topan Siregar dan RBH, diduga hadir dalam forum tersebut bukan dalam kapasitas penegakan hukum yang netral, melainkan sebagai bagian dari jaringan yang sudah terorganisasi. Nama Abdul Haris Lubis kembali disebut karena perannya yang memediasi keterlibatan mereka.
Dugaan ini menjadi semakin kuat karena penyelenggaraan pertemuan resmi dengan menghadirkan pihak rekanan swasta dan aparat kepolisian dalam ranah yang seharusnya murni administratif, menimbulkan pertanyaan besar terkait motif dan agenda tersembunyi di baliknya. Apalagi, kepala sekolah yang hadir disebut mendapatkan tekanan terkait proyek yang harus dijalankan dengan rekanan tertentu.
“Ini bukan pemerasan semata. Ini lebih dalam. Ada dugaan korupsi yang terorganisir dalam penggunaan DAK, dan aparat dijadikan alat untuk menekan pihak sekolah,” lanjut narasumber. Ia menambahkan, kepala sekolah yang berani melawan atau tidak mengikuti ‘arahan’ tertentu akan dipanggil dan diperiksa, diduga untuk menimbulkan efek jera.
Kasus ini menyita perhatian publik karena menyangkut integritas penggunaan dana pendidikan yang seharusnya dimanfaatkan untuk peningkatan mutu belajar-mengajar. Namun, justru dijadikan ladang permainan kepentingan oleh oknum-oknum yang memiliki akses pada jabatan strategis di pemerintahan dan aparat penegak hukum.
Terkait hal ini, LSM dan aktivis pendidikan di Sumatera Utara telah mendesak agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turut turun tangan menyelidiki kasus ini secara menyeluruh. Mereka menilai bahwa penyelidikan internal kepolisian saja tidak cukup untuk membongkar jaringan mafia anggaran pendidikan yang kian sistematis.
Masyarakat juga menuntut transparansi dari Pemprov Sumut, khususnya Dinas Pendidikan dan BPSDM, untuk membuka dokumen-dokumen pelaksanaan DAK tahun anggaran 2024-2025. Mereka menilai bahwa pola manipulasi anggaran melalui penunjukan rekanan dan pengondisian kepala sekolah bukanlah hal baru, melainkan hanya belum pernah tersentuh serius oleh hukum.
Sejumlah kepala sekolah yang dimintai keterangan secara tertutup menyatakan mereka dihadapkan pada dilema. Di satu sisi mereka diwajibkan mengikuti perintah atasan dan tunduk pada aparat, namun di sisi lain mereka merasa tidak nyaman karena harus mengerjakan proyek dengan rekanan yang kualitasnya tidak sesuai standar teknis.
Kasus ini berpotensi menjadi skandal besar jika penyelidikan dilakukan secara menyeluruh. Indikasi adanya jaringan yang melibatkan oknum pemerintah daerah, kepolisian, dan rekanan proyek membuat publik mendesak agar Presiden dan Menteri Pendidikan turut memberikan atensi khusus terhadap permasalahan ini.
Abdul Haris Lubis, yang kini berstatus nonaktif, belum memberikan pernyataan resmi kepada media. Namun tekanan publik dan desakan dari aktivis mendorong aparat penegak hukum untuk memeriksa perannya secara lebih dalam, mengingat posisinya yang sangat strategis saat anggaran tersebut dikucurkan.
Pihak kepolisian juga diminta untuk menjelaskan secara terbuka status Kompol Ramli dan personel lain yang disebut dalam laporan. Masyarakat menginginkan kejelasan apakah mereka bertindak berdasarkan tugas resmi, atau justru melenceng dari etika institusi.
Jika kasus ini terbukti mengarah pada praktik korupsi terstruktur, maka langkah-langkah hukum yang tegas harus segera dilakukan. Selain menjerat pelaku utama, penting juga untuk membenahi sistem pengawasan dana pendidikan agar tidak lagi dijadikan lahan empuk bagi kepentingan segelintir orang.
Dengan desakan publik yang terus meningkat, diharapkan penanganan kasus ini tidak berhenti pada kambing hitam semata. Reformasi menyeluruh dalam tata kelola dana pendidikan sangat mendesak, demi menjamin bahwa setiap rupiah yang dianggarkan benar-benar sampai ke murid dan sekolah, bukan ke kantong mafia anggaran.