
NEWMEDAN.COM – Menjelang perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus, fenomena unik terjadi di berbagai daerah. Bendera bergambar logo bajak laut dari anime populer One Piece terlihat berkibar di sejumlah tempat, menggantikan atau berdampingan dengan bendera Merah Putih. Fenomena ini memancing perhatian publik dan menjadi perbincangan hangat di media sosial maupun media massa.
Sejumlah pihak mempertanyakan motif di balik pengibaran bendera fiksi tersebut. Tak sedikit pula yang mengecamnya sebagai tindakan yang tidak pantas dan dinilai melecehkan simbol negara. Bahkan, beberapa suara menyebut tindakan itu sebagai bentuk makar atau pemberontakan terhadap pemerintah.
Namun, Sosiolog dari Universitas Airlangga, Bagong Suyanto, menilai bahwa aksi tersebut seharusnya tidak buru-buru dicap sebagai tindakan makar. Menurutnya, fenomena pengibaran bendera One Piece lebih tepat dipahami sebagai bentuk protes simbolik dari masyarakat terhadap situasi sosial dan politik saat ini.
“Ini bentuk ekspresi kritis, bukan gerakan makar. Pemerintah jangan reaktif, tapi sebaiknya mendengarkan dan memahami pesan yang ingin disampaikan,” ujar Bagong dalam keterangannya pada Sabtu (2/8/2025).
Bagong menambahkan bahwa masyarakat, terutama generasi muda, kini semakin kreatif dan simbolik dalam menyampaikan kritiknya. Alih-alih menggunakan bahasa verbal yang konfrontatif, mereka memilih simbol-simbol populer yang mudah dikenali dan memiliki makna tertentu di kalangan luas.
Bendera One Piece, dengan lambang bajak laut dan nilai-nilai kebebasan yang melekat pada tokoh-tokohnya, menjadi simbol yang kuat untuk menggambarkan keresahan dan ketidakpuasan terhadap kondisi pemerintahan. “Mereka memilih simbol yang secara budaya sudah akrab, lalu menggunakannya untuk menyuarakan aspirasi,” jelas Bagong.
Menurutnya, tindakan semacam ini mencerminkan dinamika baru dalam hubungan antara masyarakat dan negara. Pemerintah tidak bisa lagi sekadar mengandalkan narasi sepihak untuk membangun citra. Publik kini memiliki kemampuan untuk memverifikasi informasi dan menyampaikan pendapatnya melalui berbagai medium.
“Yang dibutuhkan pemerintah adalah jawaban berbasis data, bukan sekadar balasan narasi. Kalau ada kritik soal kemiskinan, pengangguran, atau korupsi, ya dijawab dengan kerja nyata dan data,” tambahnya.
Ia pun mengimbau agar aparat atau lembaga negara lainnya tidak gegabah dalam mengambil langkah hukum terhadap pengibar bendera tersebut. Langkah represif justru bisa memicu ketegangan dan membuat gerakan serupa semakin meluas.
“Kalau langsung ditangkap atau dituduh makar, itu justru memberi ruang pada rasa ketidakadilan yang lebih besar. Ini bukan soal pengibaran bendera bajak laut semata, tapi soal komunikasi dan partisipasi dalam demokrasi,” ujarnya.
Bagong juga menekankan pentingnya pendidikan politik yang sehat dan inklusif. Ia menilai bahwa masih minimnya ruang dialog antara pemerintah dan masyarakat membuat ekspresi protes kerap muncul dalam bentuk yang tak konvensional.
Sementara itu, sebagian masyarakat menilai bahwa pengibaran bendera One Piece adalah bentuk kreativitas dan satire terhadap kondisi bangsa. Beberapa dari mereka bahkan membuat unggahan di media sosial yang menyandingkan tokoh Luffy sebagai simbol “pahlawan rakyat” yang berjuang melawan ketidakadilan.
Fenomena ini sejatinya menggambarkan adanya jurang komunikasi antara penguasa dan rakyat. Dalam era digital saat ini, bentuk perlawanan tak lagi melulu turun ke jalan, tapi bisa diwujudkan dalam simbol, meme, atau aksi-aksi budaya populer lainnya.
Menanggapi hal ini, sejumlah tokoh masyarakat dan pegiat kebebasan sipil meminta agar pemerintah lebih bijak dan terbuka dalam melihat gejala sosial yang muncul. Alih-alih mengkriminalisasi, sebaiknya fenomena seperti ini dijadikan momentum untuk introspeksi dan perbaikan kebijakan.
Akhirnya, perayaan kemerdekaan bukan hanya soal seremoni, tetapi juga menjadi momen refleksi atas arti kemerdekaan yang sesungguhnya. Ketika rakyat menggunakan simbol fiksi untuk menyuarakan kenyataan, di situlah tugas negara diuji: apakah siap mendengar, atau justru kembali menutup telinga?