
NEWMEDAN.COM – Seorang oknum pegawai negeri sipil (PNS) yang bertugas di Kejaksaan Negeri (Kejari) Binjai, berinisial AG, tengah menjadi sorotan setelah diduga menghamili seorang gadis berusia 30 tahun berinisial IS. Kasus ini menjadi perhatian publik setelah korban membeberkan kisah awal perkenalannya dengan AG, yang menurutnya berujung pada kehamilan tanpa pertanggungjawaban.
Dalam keterangan tertulis yang disampaikan kepada awak media pada Selasa, 22 Juli 2025, IS mengungkapkan bahwa ia pertama kali berkenalan dengan AG pada 20 Februari 2024. Saat itu, AG memperkenalkan diri sebagai seorang duda yang telah resmi bercerai dengan istrinya. Status itu membuat IS merasa aman menjalin hubungan lebih dekat dengan pria tersebut.
“Awal kenal dengan AG pada 20 Februari 2024. Dia mengaku sama saya berstatus duda atau sudah benar-benar pisah dengan istrinya,” tulis IS dalam pernyataannya. IS yang saat itu tengah berada dalam kondisi emosional rentan karena baru saja kehilangan pekerjaan, merasa mendapatkan perhatian dan dukungan dari AG.
Seiring berjalannya waktu, hubungan keduanya menjadi semakin intens. AG sering mengunjungi IS, menunjukkan perhatian, dan bahkan menjanjikan masa depan bersama. “Dia bilang ingin serius dan akan menikahi saya. Saya percaya karena dia terlihat meyakinkan dan menunjukkan kepedulian,” lanjut IS dalam penjelasannya.
Namun, kepercayaan IS perlahan mulai runtuh ketika pada pertengahan tahun 2024, AG mulai jarang memberi kabar dan sulit dihubungi. IS curiga, terlebih ketika mendengar kabar dari kenalan lain bahwa AG ternyata masih berstatus menikah secara sah. Saat dikonfrontasi, AG berdalih sedang dalam proses perceraian yang belum rampung.
Puncaknya terjadi pada awal 2025, ketika IS menyadari dirinya hamil. Ia pun segera menghubungi AG untuk memberi tahu kabar tersebut, berharap pria itu bertanggung jawab. Namun, respons AG sangat mengecewakan. Ia menolak bertemu dan mulai menghindar. Bahkan, menurut pengakuan IS, AG memintanya untuk menggugurkan kandungan.
“Saya hancur saat dia menyarankan untuk menggugurkan. Padahal ini anak dari hubungan kami. Dia yang membuat saya percaya,” kata IS dengan suara penuh emosi. IS pun menolak permintaan itu dan memilih untuk mempertahankan kandungannya. Sejak saat itu, AG benar-benar menghilang dan tidak lagi memberi tanggapan.
Merasa tidak mendapat keadilan, IS akhirnya memberanikan diri menceritakan kisahnya kepada media dan mencari pendampingan hukum. Ia berharap agar AG bertanggung jawab atas perbuatannya. “Saya tidak ingin perempuan lain menjadi korban seperti saya. Saya hanya ingin kejelasan dan pertanggungjawaban,” ujarnya.
Kasus ini menjadi perhatian sejumlah organisasi perempuan dan lembaga bantuan hukum di Sumatera Utara. Mereka mengecam tindakan AG yang dinilai tidak mencerminkan perilaku seorang aparatur sipil negara. Beberapa aktivis juga mendesak Kejari Binjai untuk segera mengambil tindakan tegas terhadap oknum PNS tersebut.
Sementara itu, pihak Kejaksaan Negeri Binjai hingga kini belum memberikan pernyataan resmi terkait kasus tersebut. Namun, sumber internal menyebutkan bahwa kasus ini sedang dalam tahap pemeriksaan etik oleh inspektorat kejaksaan. Jika terbukti, AG dapat dikenakan sanksi disiplin berat hingga pemecatan.
Pakar hukum dari Universitas Sumatera Utara, Dr. Reza Firmansyah, menyatakan bahwa jika AG benar-benar memberikan informasi palsu untuk menjalin hubungan dan kemudian meninggalkan korban dalam kondisi hamil, maka perbuatannya bisa dikategorikan sebagai penipuan dan pelanggaran moral berat.
Ia juga menambahkan bahwa sebagai aparatur sipil negara, AG seharusnya menjaga integritas dan nama baik institusi. “PNS memiliki kewajiban etis dan moral, terlebih jika bertugas di lembaga penegak hukum seperti kejaksaan. Tindakan seperti ini mencoreng wajah lembaga,” tegasnya.
IS berharap ke depan tidak ada lagi perempuan yang mengalami nasib serupa karena tertipu rayuan dan kebohongan seseorang yang seharusnya menjadi panutan masyarakat. Ia juga meminta dukungan publik agar kasus ini diusut hingga tuntas dan memberikan efek jera.
Kini IS tengah menjalani masa kehamilan dengan dukungan dari keluarganya. Meski dihadapkan pada tekanan mental yang berat, ia tetap bertekad untuk melanjutkan hidup dan membesarkan anaknya. “Saya ingin anak saya tahu bahwa ia lahir karena cinta, meski ayahnya tidak bertanggung jawab,” tutupnya dengan mata berkaca-kaca.