
NEWMEDAN.COM – Pasar minyak internasional mengalami gejolak signifikan menyusul meningkatnya ketegangan antara Israel dan Iran. Data terakhir menunjukkan harga minyak mentah Brent melonjak lebih dari 5% dalam perdagangan terakhir, menandai kekhawatiran pasar terhadap potensi gangguan pasokan energi global. Eskalasi konflik di Timur Tengah ini kembali mengingatkan dunia pada sensitivitas harga minyak terhadap gejolak geopolitik di kawasan penghasil energi utama.
Menurut laporan Al Jazeera yang dipantau Minggu (15/6/2025), harga minyak berjangka sempat menyentuh kenaikan dramatis lebih dari 13% pada satu titik, mencapai level tertinggi sejak Januari 2025. Lonjakan harga ini terjadi dalam waktu singkat namun cukup mencerminkan kepanikan pasar finansial global. Analis mencatat reaksi berlebihan (overreaction) ini sebagai respons terhadap potensi perluasan konflik yang bisa mengganggu stabilitas kawasan Timur Tengah.
Faktor utama penggerak kenaikan harga minyak adalah penutupan sementara Selat Hormuz, jalur pelayaran strategis yang menghubungkan Teluk Arab dengan Teluk Oman. Selat sempit ini merupakan pintu gerbang vital bagi perdagangan minyak global, dengan sekitar 20% pasokan minyak dunia melewati rute ini setiap harinya. Penutupan sementara oleh otoritas setempat sebagai tindakan pencegahan keamanan telah memicu kekhawatiran pasokan di pasar internasional.
Para ahli energi memperkirakan dampak penutupan Selat Hormuz bisa lebih signifikan dibandingkan gangguan pasokan sebelumnya. “Ini berbeda dengan gangguan produksi di satu negara, karena menyangkut jalur distribusi global,” jelas Faisal Rahman, analis energi dari Middle East Economic Survey. Menurutnya, setiap gangguan di Selat Hormuz berdampak langsung pada beberapa produsen minyak utama termasuk Arab Saudi, Irak, Uni Emirat Arab, dan Kuwait.
Pemerintah negara-negara konsumen minyak besar mulai menyiapkan langkah antisipasi. Indonesia sebagai salah satu importir minyak terbesar dunia dikabarkan sedang mempertimbangkan pemanfaatan cadangan minyak strategis (SPBU) untuk mengantisipasi gejolak harga. Langkah serupa juga diambil oleh beberapa negara Asia lainnya yang sangat bergantung pada impor minyak Timur Tengah.
Kenaikan harga minyak ini berpotensi memicu efek domino pada perekonomian global. Sektor transportasi dan industri yang berbasis energi diperkirakan akan merasakan dampak pertama. Di banyak negara, termasuk Indonesia, kenaikan harga minyak mentah biasanya diikuti dengan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri, yang kemudian berdampak pada inflasi secara keseluruhan.
Bank Dunia dalam pernyataan terbarunya memperingatkan tentang risiko stagflasi jika kenaikan harga minyak berlangsung dalam waktu lama. “Kombinasi pertumbuhan ekonomi yang melambat dan inflasi tinggi bisa menjadi tantangan serius bagi negara berkembang,” ujar perwakilan lembaga tersebut. Peringatan ini khususnya relevan bagi negara-negara yang belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi dan krisis ekonomi sebelumnya.
Pasar keuangan global juga menunjukkan reaksi negatif terhadap perkembangan terakhir. Indeks saham di berbagai bursa Asia menunjukkan penurunan, khususnya untuk sektor transportasi dan manufaktur yang sensitif terhadap harga energi. Nilai tukar mata uang negara-negara pengimpor minyak juga mengalami tekanan, termasuk Rupiah yang melemah terhadap Dolar AS.
Di tengah gejolak pasar, OPEC+ disebut-sebut sedang mempertimbangkan pertemuan darurat untuk membahas respons terhadap situasi terkini. Namun, beberapa anggota kartel minyak tersebut diyakini memiliki pandangan berbeda tentang langkah yang harus diambil, mengingat posisi politik mereka yang berbeda dalam konflik Israel-Iran.
Analis politik memprediksi bahwa resolusi konflik ini akan menjadi kunci stabilisasi harga minyak dunia. “Pasar akan terus volatile sampai ada kejelasan tentang de-eskalasi konflik,” ujar Maria Gomez dari lembaga riset Global Risk Insights. Ia menambahkan bahwa intervensi negara-negara besar dan PBB mungkin diperlukan untuk mencegah konflik semakin meluas.
Dampak kenaikan harga minyak ini juga dirasakan di pasar komoditas lainnya. Harga gas alam turut mengalami kenaikan, sementara harga saham perusahaan energi di berbagai bursa dunia meroket. Fenomena ini semakin memperlebar ketidakseimbangan antara sektor energi dengan sektor-sektor ekonomi lainnya yang justru tertekan oleh biaya energi yang tinggi.
Masyarakat di berbagai negara mulai merasakan dampak tidak langsung dari krisis ini. Di Indonesia, misalnya, muncul kekhawatiran tentang potensi kenaikan harga barang-barang pokok jika biaya transportasi meningkat. Beberapa pengusaha kecil sudah mulai mengeluhkan kenaikan harga bahan baku yang terkait dengan biaya energi.
Pemerintah berbagai negara mulai mengeluarkan pernyataan menenangkan pasar. Menteri Energi Arab Saudi menyatakan bahwa pasokan minyak global sebenarnya masih mencukupi dan penutupan Selat Hormuz hanya bersifat sementara. Sementara itu, Amerika Serikat dikabarkan sedang mempertimbangkan untuk melepas sebagian cadangan minyak strategisnya untuk menstabilkan pasar.
Dalam jangka panjang, pakar energi melihat krisis ini sebagai pengingat akan pentingnya diversifikasi sumber energi. “Ketergantungan berlebihan pada minyak Timur Tengah membuat ekonomi global rentan terhadap gejolak geopolitik,” ujar Prof. Ahmad Syafii dari Institut Teknologi Bandung. Ia menyarankan percepatan transisi energi dan pengembangan sumber energi terbarukan sebagai solusi struktural.
Sementara pasar masih menunggu perkembangan lebih lanjut, satu hal yang pasti: stabilitas harga minyak dunia dalam beberapa minggu ke depan sangat tergantung pada bagaimana konflik Israel-Iran akan berkembang. Dunia berharap adanya upaya diplomasi intensif untuk mencegah eskalasi yang bisa berdampak lebih luas terhadap perekonomian global yang sudah rapuh.