
NEWMEDAN.COM – Kasus dugaan korupsi pengadaan perabotan sekolah di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, mulai memasuki babak baru. Lembaga Studi Pengadaan Indonesia (LSPI) mengungkap sejumlah kejanggalan yang dinilai berpotensi merugikan keuangan negara hingga miliaran rupiah.
Dalam penelusurannya, LSPI menemukan indikasi adanya praktik markup atau penggelembungan harga pada sejumlah item mebel sekolah yang dibiayai dari anggaran belasan miliar rupiah. Proyek ini berada di bawah kendali Dinas Pendidikan Kabupaten Langkat.
Direktur Eksekutif LSPI, Syahrial Sulung, mengatakan pihaknya telah menganalisis dokumen pengadaan dan menemukan adanya perbedaan harga yang mencolok antara mebel untuk sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), padahal spesifikasinya hampir serupa.
Salah satu contoh yang disebutkan adalah selisih harga kursi siswa antara tingkat SD dan SMP yang mencapai Rp70.000. “Padahal perbedaan fisiknya hanya dari segi tinggi, sekitar 5 sentimeter saja,” kata Syahrial kepada awak media, Rabu (15/5).
Ia menilai bahwa perbedaan harga tersebut tidak masuk akal dan tidak dapat dibenarkan secara teknis maupun logis. Seharusnya, perbedaan harga hanya berkisar pada selisih bahan baku yang sangat minimal.
LSPI juga menyoroti harga papan tulis gantung yang mencapai Rp1.265.000 per unit. Menurut Syahrial, harga tersebut sangat tidak rasional mengingat material yang digunakan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan meja guru, yang justru dihargai lebih rendah.
“Kalau dibandingkan, papan tulis gantung jelas tidak menggunakan banyak komponen kayu atau bahan logam seperti meja guru. Tetapi harganya justru lebih tinggi. Ini patut dipertanyakan,” ujar dia.
Kecurigaan semakin menguat ketika LSPI mengamati harga satu unit lemari arsip yang tercantum sebesar Rp2.244.350. Menurut mereka, harga itu jauh di atas harga pasaran untuk produk sejenis, bahkan jika menggunakan material kualitas menengah.
Lebih lanjut, LSPI mengindikasikan bahwa proses pengadaan tidak dilakukan secara transparan. Mereka mencatat adanya indikasi pengondisian harga saat proses penawaran yang memungkinkan terjadinya markup anggaran secara sistematis.
“Kami menduga ada kerja sama antara penyedia barang dan oknum di dinas untuk menaikkan harga satuan barang demi keuntungan pribadi,” ucap Syahrial. Ia menegaskan bahwa temuan ini sudah dilaporkan kepada aparat penegak hukum.
LSPI juga meminta agar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun Inspektorat melakukan audit investigatif terhadap proyek ini. Langkah ini dinilai penting untuk mengetahui sejauh mana potensi kerugian negara yang ditimbulkan.
Dalam laporannya, LSPI menyebutkan bahwa proyek pengadaan perabotan tersebut menyasar ratusan sekolah di wilayah Langkat. Jika kejanggalan ini dibiarkan, maka akan berdampak buruk terhadap kualitas layanan pendidikan di daerah tersebut.
Masyarakat diharapkan turut mengawasi proses pengadaan barang dan jasa, terutama di sektor pendidikan yang menyangkut masa depan generasi muda. Syahrial mengatakan, “Transparansi adalah kunci agar anggaran negara benar-benar digunakan untuk kemaslahatan rakyat.”
Sementara itu, pihak Dinas Pendidikan Langkat hingga berita ini diturunkan belum memberikan tanggapan resmi terkait temuan LSPI tersebut. Beberapa upaya konfirmasi yang dilakukan media kepada pejabat terkait belum membuahkan hasil.
Kasus ini menjadi perhatian publik dan aktivis antikorupsi, yang meminta agar aparat hukum segera bertindak cepat dan tegas. Proyek pendidikan, kata mereka, tidak boleh dijadikan ladang korupsi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Jika terbukti ada pelanggaran, masyarakat berharap aparat penegak hukum segera menetapkan pihak-pihak yang terlibat sebagai tersangka. “Kami tidak ingin anak-anak kami belajar dari meja dan kursi hasil korupsi,” ujar salah satu orang tua siswa di Langkat.